20 Akademi Komunitas Segera Dibangun
Jakarta, Kompas - Setelah Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi disetujui DPR, pemerintah akan segera membangun perguruan tinggi negeri baru, terutama di provinsi yang belum memiliki PTN, seperti di Sulawesi Barat. Selain itu, akan didirikan pula akademi komunitas (community college) di kabupaten/kota.
”Untuk tahun ini rencananya akan dibangun 20 akademi komunitas di sejumlah daerah,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Adapun untuk PTN sedang dipertimbangkan untuk dibangun di Aceh, Banyuwangi, Madiun, dan Sampang, Madura.
Pada prinsipnya, kata Nuh, pembangunan PTN dan akademi komunitas itu bertujuan mendorong lulusan jenjang pendidikan menengah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
”Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat juga boleh mendirikan akademi komunitas. Akademi komunitas akan memfasilitasi masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan di universitas,” kata Nuh.
Akademi komunitas berada di jalur pendidikan vokasi.
Kekurangan dosen
Nuh mengatakan, pihaknya menyadari kurangnya tenaga pengajar atau dosen yang datang dari jalur vokasi. Sebagian besar dosen di jalur vokasi berlatar belakang pendidikan jalur akademik, seperti S-1 dan S-2. Akibatnya, kurikulum jalur vokasi lebih banyak bicara tentang teori. ”Padahal, jalur vokasi menekankan keterampilan,” katanya.
Nuh mengingatkan, kurikulum pendidikan vokasi kini harus dibuat berdasarkan permintaan atau kebutuhan pasar atau industri. Dengan memenuhi kebutuhan spesifik industri masing-masing, harapannya daya serap akan tinggi.
”Kurikulum vokasi menjadi fleksibel, sering berubah, dan bisa berbeda satu sama lain karena menyesuaikan kebutuhan pasar,” kata Nuh.
Akademi komunitas akan menjadi jembatan antara sekolah menengah kejuruan dan politeknik. Dalam RUU PT disebutkan, akademi komunitas akan dibangun di setiap ibu kota kabupaten/kota.
”Dengan akademi komunitas, kita bisa mendapat lulusan yang minimal berpendidikan D-1 atau D-2,” kata Nuh.
Karena sasarannya spesifik lapangan pekerjaan, pendirian akademi komunitas akan difokuskan ke daerah-daerah khusus, seperti kantong-kantong TKI, daerah nelayan, daerah dengan populasi tinggi, dan daerah perbatasan. ”Semua akademi komunitas akan dikembangkan sesuai potensi atau kekayaan yang ada di daerah itu,” kata Nuh.
Kebutuhan akan akademi komunitas ini tinggi karena, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso, kualitas lulusan perguruan tinggi dan program D-1/D-2 tidak sesuai kebutuhan pasar.
Konsep tidak jelas
Konsep akademi komunitas di Indonesia, kata Djoko, berbeda dari konsep community college di Amerika Serikat yang memiliki sistem yang kuat. ”Akademi komunitas kita mirip dengan Australia, Jerman, Inggris, dan Skandinavia,” kata Djoko.
Pendirian akademi komunitas tidak hanya akan dilakukan pemerintah, tetapi juga oleh industri atau masyarakat. Siapa pun diperbolehkan membuat akademi komunitas dengan pengawasan pemerintah. ”Tetap harus dengan akreditasi dari kami. Jika ada pelanggaran, kami tegur,” kata Djoko.
Secara terpisah, kalangan guru besar dan dosen senior dari berbagai perguruan tinggi mempertanyakan konsep akademi komunitas.
”Jika untuk menyiapkan tenaga siap pakai, dirikan saja lembaga kursus. Jangan menggunakan istilah akademi,” kata Guru Besar Institut Teknologi Bandung Harijono A Tjokronegoro.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengingatkan, tugas pemerintah adalah meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang ada. ”Jangan seolah-seolah jumlah mahasiswa banyak karena tercatat di akademi komunitas yang konsepnya tidak jelas,” kata Imam.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung Johanes Gunawan menyesalkan sikap pemerintah yang tidak mau mendengar masukan dari banyak kalangan. ”Akademi komunitas konsepnya tidak jelas,” ujarnya. (LUK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar