Oleh : Norman Ohira
- Pengertian
Pada aula
Princeton (Amerika Serikat) tertulis sebuah ucapan yang menarik. Tulisan
tersebut berbunyi : “God is subtle, but he is not malicious”. Menarik,
itulah yang terkangkap dari ucapan seorang jenius abad 20 yaitu Albert
Einstein. Ucapan itu kurang lebih berarti “Tuhan itu bijaksana, tetapi ia bukan
pendendam”. Ucapan itu dikutip dari Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, biasa
dipanggil Bang ‘Imad-- (Jalaluddin Rahmat, 1998). Selanjutnya menurut Bang ‘Imad,
ucapan tersebut sangat Islami. Karena Einstein menurutnya sampai pada
kesimpulan Tuhan tidak mungkin bermain dadu.
Lalu, apa
kaitannya dengan tema di atas? Kaitannya adalah, bagaimana mendudukan Filsafat
ilmu dalam hubungannya dengan agama (Islam). Sebagai penekanannya terutama pada
Studi Islam dan Sains, apakah bertentangan atau bergandengan? Bagaimana Islam
memandang Sains?
Sebagai
starting point, maka ucapan seorang Einstein di atas perlu menjadi asumsi dasar
bahwa tak ada perbedaan antara keduanya.
- Filsafat Ilmu
Filsafat dari
kata pilos (penggemar) dari sofos (hikmah atau ilmu), telah
dikenal sejak zaman Yunani kira-kira 2000 tahun yang lalu. (Hamka, 1970:)
Orang yang pertama kali menggunakan kata ini adalah Pythagoras (572-497 SM).
Pengertian kata ini mengacu kepada orang yang cinta kepada kebenaran,
kebijaksanaan, “the love of wisdom”. (Asnawir, Diktat kuliah, 2002). Secara
terminologis, telah banyak para ahli yang memberikan defenisinya,
namun pada intinya filsafat adalah suatu kegiatan berfikir manusia yang
berusaha untuk mencapai kebijaksaan atau kearifan. Dengan tercapainya tujuan
tersebut, maka seseorang akan mempunyai pengerian yang mendalam dan mengerti
akan nilai-nilai, serta senantiasa mendasarkan pendapatnya tidak di atas
pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, dan memperhatikan arti
yang mendalam dari semuanya. (Ibid,:2).
Filsafat
mempunyai dua objek kajian yaitu objek material dan objek forma. Objek material
yaitu sesuatu yang menjadi sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki, sesuatu
yang dipelajari. Sedangkan objek forma adalah cara memandang, cara meninjau
yang dilakukan peneliti terhadap objek material, serta prinsip-prinsip yang
digunakannya. ( Asnawir, 2002:17)
Sedangkan ilmu
secara bahasa berarti mengetahui dari kata Arab ‘Ilm. Secara terminologis,
banyak pendapat tentang pengertiannya.
Namun dapat diambil intisari bahwa Ilmu adalah suatu system dari berbagai
pengetahuan yang masing-masingnya mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu,
disusun berdasarkan azas-azas tertentu, hinggga menjadi kesatuan yaitu suatu
system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil
dari pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu
(deduksi dan induksi). (Asnawir, 2002:4)
Salah satu
cirri dari ilmu adalah berkembang. Di sini muncul pertanyaan bagaimana dengan
Ilmu ke islaman? Atau studi Islam? Apakah berkembang dan dapat masuk ke dalam
kelompok studi ilmu lainnya?. Menarik pertanyaannya tersebut, (lebih jelas pada
uraian hubungan filsafat ilmu dengan Studi Islam).
- Filsafat Ilmu dan Studi Islam
Berdasarkan
kecenderungan akhir-akhir ini, yaitu upaya islamisasi sains, maka tak pelu lagi
studi ke-Islaman haruslah diperjelas. Sehingga tidak terjadi penyimpangan. Hal
itu misalnya anggapan bahwa Islam sebagai ajaran adalah benar, sedangkan
filsafat adalah mencari kebenaran. Lalu mengapa Islam harus memerlukan studi
dengan perangkat Ilmu?. Jawabannya kembali kepada defenisi filsafat Ilmu bahwa
Ilmu haruslah berangkat dari nilai terdalam dan objektif. Masalahnya adalah
pemisahan dari Studi Islam dengan Islam sebagai doktrin belum dipahami jelas.
Filsafat Ilmu menurut hemat penulis berkisar pada wilayah Studi Islam diluar
keyakinan doctrinal. Memang sangat sulit memisahkannya karena di sana terdapat
sekat yang tipis sekali. Ending Saifuddin Anshari (ESA, 1992) dengan tegas
memisahkan antara Ilmu agama dengan Studi agama. Yang menurutnya sangat berbeda
di mana ilmu agama adalah kebenaran mutlak yang didapat dari riwayat
mutawatir. Sedangkan Studi agama adalah berada dalam wilayah pemahaman
terhadap doktrin agama yang memerlukan perangkat metode sebagaiman layaknya
pengerjaan ilmiah dalam sains. Di sinilah terletak sifat mendua dari konsep
penelitian agama.
Tetapi, mau
tak mau harus dibedakan karena implikasinya jauh ke depan mengenai nasib studi
keislaman pada Sekolah Tinggi misalnya. Apakah nanti akan menghentikan
penyelidikan hadis? Bukankah apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari telah
merintis penelitian Ilmiah?. Maka dalam hal ini, menurut penulis ada benarnya
pendapat Taufik Abdullah (Taufik Abdullah, (ed.)1991: xiii) bahwa harus
dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter
penelitian yaitu; pertama, agama sebagai doktrin. Memang pada kategori
ini akan berpuncak pada usaha pencarian kebenaran agama. Tetapi dalam kerangka
Filsafat ilmu, maka seorang peneliti atau mujtahid akan berakhir dengan ucapan inilah
ajaran sesungguhnya. Dan pada saat itulah sebenarnya sikap objektifitas telah
muncul dari tradisi akademis bahwa sepanjang penelitian saya inilah maksud
inilah yang benar. Dalam kaitan ini dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan
tentang esensi agama. Dengan pendekatan ini menurut Taufik Abdullah
memungkinkan para ahli membuat “rekonstruksi” dari hubungan timbal balik agama
dengan manusia. Maka pada akhirnya ilmu perbandingan agama misalnya mendapat
tempat dalam studi ini.
Kategori
kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Di sinilah batasan yang
jelas dari studi islam memperoleh tempat dalam kerangka penelitian tatanan
masyarakat yang dibentuk dari kepemelukan agama. Maka tidak terlalu sukar untuk
membayangkan bahwa corak ini nantinya bercorak penelitian social-sosiologi,
sntropologi, sejarah dan sebagainya.
Kategori
ketiga, adalah mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang
dianutnya. Kategori ini adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan
masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama. Harus diingat bahwa ada dua bentuk
besar pemahaman ajaran agama dari masyuarakat yaitu; masyarakat pertanian
(pedesaan) dan masyarakat perkotaan. Menurut Kuntowijoyo (1994),
karakteristik dasar dari Islam pedesaan adalah mobilitasnya menurun,
dipengaruhi budaya agraris yang statis dan percaya mistik. Hal yang sebaliknya
terjadi pada masyarakat perkotaan yang cosmopolitan. Sehingga walaupun tidak
sepenuhnya demikian, dalam kenyataan islam yang ada di pedesaan adalah islam
normative dan sempit sertga dijalankan secara rigid (kaku)[4]
Melihat kepada
kategori yang diberikan Taufik Abdullah di atas, maka studi islam lebih luas
dan dapat memesauki lapangan metodologi yang lebih luas pula. Bahkan dengan
menggunakan paradigma positivistic sekalipun, studi islam dapat dilakukan.
Apakah menggunakan penelitian kualitatif ataupun kuantitatif. Hal ini
sebagaimana pendapat noeng muhajir (Taufik Abdullah (ed.) 1991) dalam
penelitian agama nantinya akan lebih ajeg dan konsekuen bila didasari oleh
falsafat dan metodologi tertentu. Ini berarti dapat masuk ke wilayah metodologi
apapun. Penelitian kuantitatif misalnya berguna dalam mengukur tingkat
antusiasme umat terhadap pendidikan atau dakwah.
Dalam kajian
filsafat ilmu dikenal adanya objek formal dan objek material, sebagai bagian
dari filsafat ilmu, studi islam mengacu kepada kedua objek tersebut. Objek
formal yaitu cara memandang dari sesuatu yang diteliti adalah bagian dari
pertumbuhan ilmu-ilmu ke-islaman semisal fiqh, ulumul quran dan hadis dan
sebagainya. Sedangkan yang menjadi objek material adalah doktrin islam itu
sendiri. Disinilah terletak keabsahan studi islam dalam kerangka filsafat ilmu.
Dan yang menjadi patokan dasar adalah objek formal dimana mengacu kepada
paradigma, pendekatan dan metodologi yang digunakan. Maka studi islam pada
akhirnya menuntut adanya pengembangan dari halk tersebut. Sebagai missal, dalam
studi al-Quran, Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Quran adalah seumpama mutiara yang memancarkan cahayanya di setiap
sudut pandangan. (Quraish Shihab, 1998). Jadi sangat jelas batasan studi Islam
bila dikaitkan dengan filsafat ilmu. Ditambah lagi dalam kerangka trium virat
filsafat yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi maka studi islam berada
dalam kawasan itu.
Berkaitan
dengan cirri ilmu adalah berkembang, maka apakah studi islam juga berkembang?
Pertanyaan ini pernah dikemukakan LIPI (lemmbaga Ilmu Penegtahuan Indonesia).
Sebagai jawabannya, menurut Harun Nasution (Harun, 1998) perkembangan ilmu
ke-Islaman terjadi dalam wilayah perkembangan modern dan pembaharuan Islam.Di
dalamnya terjadi perkembangan ide, konsep, metode dan falsafat berfikir
terhadap objek material studi islam.
- Islam dan sains
Berangkat dari
pertanyaan Einstein di atas, sebenarnya “the end point” dari sains itu adalah
Islam. Alam ini diatur oleh seorang Master designer. Maka asumsi yang didapati
dari pertanyaan islamisasi sains adalah niat yang berdasarkan kepada
nilai-nilai (value) yang menjadi dasar pengerjaan sains. Karena islam menurut
bang Imad menentukan pengkajian mana yang perlu diprioritaskan dan atas dasar
apa prioritas itu ditentukan. Sehingga ilmu adalah apa yang melekat pada
dirinya. Ilmu adalah robot yang bergerak tanpa dosa. Dan dalam kaitan ini isalm
berada pada tataran aksiologis dari pertanyaan Quo Vadis Ilmu? Jadi persoalan
islamisasi sains sebenarnya terletak pada penetapan nilai dan prioritas.
Dengan
demikian takkan ada lagi paradigma ilmu-ilmu secular (Barat) dan ilmu islami.
Yang ada adalah bahwa ilmuwan secular dan ilmuwan islami. Karena studi islam
sekalipun sebenarnya bias menjadi sekuler ketika pengkajian yang dilakukan
tanpa nilai misalnya penetapan hukum islam yang berangkat dari paradigma
positivistic dan materialis. Maka yang ada hanyalah hhukum secular jauh dari nilai
agama.
Professor
Ahmad Baiquni, seorang fisikawan pertama Indonesia, mengemukakan bahwa antara
islam dan sains amatlah berkaitan erat bila dikaitkan dengan begitu banyak
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Quran. Hal itu
ditegaskan pula oleh Quraish Shihab bahwa ayat pertama surat al-‘Alaq yaitu
Iqra merupakan isyarat dan pandangan al-Quran terhadap ilmu dan teknologi.[5]
Jadi sebenarnya tak ada masalah antara islam dan sains. Karena bukankah Nabi
pernah bersabda:”siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, siapa
yang menginginkan akhirat haruslah dengan ilmu, dan bagi yang menginginkan
keduanya maka haruslah dengan ilmu”. Kemudian jika dibawa kepada setting
sejarah, bahwa islam pernah menjadi kampiun ilmu pengetahuan. Mengapa itu bias
terjadi, karena umat islam ketika itu dapat menyelaraskan antara sains dan
ajaran islam. Terutama kemampuan mereka memadukan antara pertemuan dua kutub
filsafat barat (hellenisme yunani) dengan filsafat timur (sasanid Persia).
Hanya saja karena ulah umat islam sendiri yang kemudian berbalik menghancurkan
Islam.
V. Penutup
Dalam
bagian terkahir ini, penulis menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dalam
hhubungannya dengan studi islam dan sains islam adalah sebuah garis linear yang
sinkron. Dan perbedaan antaranya adalah pada sekat yang tipis dalam sebuah
pertanyaan quo vadis ilmu? Karena filsafat sebenarnya adalah proses tersebut.
Dan mengacu kepada filsafat ilmu ia akan berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman.
Akhirnya mengacu kepada Quraish
Shihab dalam persoalan penafsiran al-Quran, al-Quran ibarat sebuah mutiara yang
memancar di setiap sudut. Dan dari sudut mana dipandang ia tetaplah benar namun
di situ pula letak ketidakbenaran pandangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar