Sabtu, 04 Agustus 2012

ILMU DALAM ISLAM (Tinjauan Filsafat Ilmu dalam Studi Islam dan Sains)


Oleh : Norman Ohira

  1. Pengertian
Pada aula Princeton (Amerika Serikat) tertulis sebuah ucapan yang menarik. Tulisan tersebut berbunyi : “God is subtle, but he is not malicious”. Menarik, itulah yang terkangkap dari ucapan seorang jenius abad 20 yaitu Albert Einstein. Ucapan itu kurang lebih berarti “Tuhan itu bijaksana, tetapi ia bukan pendendam”. Ucapan itu dikutip dari Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, biasa dipanggil Bang ‘Imad-- (Jalaluddin Rahmat, 1998). Selanjutnya menurut Bang ‘Imad, ucapan tersebut sangat Islami. Karena Einstein menurutnya sampai pada kesimpulan Tuhan tidak mungkin bermain dadu.
Lalu, apa kaitannya dengan tema di atas? Kaitannya adalah, bagaimana mendudukan Filsafat ilmu dalam hubungannya dengan agama (Islam). Sebagai penekanannya terutama pada Studi Islam dan Sains, apakah bertentangan atau bergandengan? Bagaimana Islam memandang Sains?
Sebagai starting point, maka ucapan seorang Einstein di atas perlu menjadi asumsi dasar bahwa tak ada perbedaan antara keduanya.

  1. Filsafat Ilmu
Filsafat dari kata pilos (penggemar) dari sofos (hikmah atau ilmu), telah dikenal sejak zaman Yunani kira-kira 2000 tahun yang lalu. (Hamka, 1970:) Orang yang pertama kali menggunakan kata ini adalah Pythagoras (572-497 SM). Pengertian kata ini mengacu kepada orang yang cinta kepada kebenaran, kebijaksanaan, “the love of wisdom”. (Asnawir, Diktat kuliah, 2002). Secara terminologis, telah banyak para ahli yang memberikan defenisinya, namun pada intinya filsafat adalah suatu kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijaksaan atau kearifan. Dengan tercapainya tujuan tersebut, maka seseorang akan mempunyai pengerian yang mendalam dan mengerti akan nilai-nilai, serta senantiasa mendasarkan pendapatnya tidak di atas pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, dan memperhatikan arti yang mendalam dari semuanya. (Ibid,:2).
Filsafat mempunyai dua objek kajian yaitu objek material dan objek forma. Objek material yaitu sesuatu yang menjadi sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki, sesuatu yang dipelajari. Sedangkan objek forma adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan peneliti terhadap objek material, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. ( Asnawir, 2002:17)

 Sedangkan ilmu secara bahasa berarti mengetahui dari kata Arab ‘Ilm. Secara terminologis, banyak pendapat tentang pengertiannya. Namun dapat diambil intisari bahwa Ilmu adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masingnya mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, disusun berdasarkan azas-azas tertentu, hinggga menjadi kesatuan yaitu suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil dari pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu (deduksi dan induksi). (Asnawir, 2002:4)
Salah satu cirri dari ilmu adalah berkembang. Di sini muncul pertanyaan bagaimana dengan Ilmu ke islaman? Atau studi Islam? Apakah berkembang dan dapat masuk ke dalam kelompok studi ilmu lainnya?. Menarik pertanyaannya tersebut, (lebih jelas pada uraian hubungan filsafat ilmu dengan Studi Islam).

  1. Filsafat Ilmu dan Studi Islam
Berdasarkan kecenderungan akhir-akhir ini, yaitu upaya islamisasi sains, maka tak pelu lagi studi ke-Islaman haruslah diperjelas. Sehingga tidak terjadi penyimpangan. Hal itu misalnya anggapan bahwa Islam sebagai ajaran adalah benar, sedangkan filsafat adalah mencari kebenaran. Lalu mengapa Islam harus memerlukan studi dengan perangkat Ilmu?. Jawabannya kembali kepada defenisi filsafat Ilmu bahwa Ilmu haruslah berangkat dari nilai terdalam dan objektif. Masalahnya adalah pemisahan dari Studi Islam dengan Islam sebagai doktrin belum dipahami jelas. Filsafat Ilmu menurut hemat penulis berkisar pada wilayah Studi Islam diluar keyakinan doctrinal. Memang sangat sulit memisahkannya karena di sana terdapat sekat yang tipis sekali. Ending Saifuddin Anshari (ESA, 1992) dengan tegas memisahkan antara Ilmu agama dengan Studi agama. Yang menurutnya sangat berbeda di mana ilmu agama adalah kebenaran mutlak yang didapat dari riwayat mutawatir. Sedangkan Studi agama adalah berada dalam wilayah pemahaman terhadap doktrin agama yang memerlukan perangkat metode sebagaiman layaknya pengerjaan ilmiah dalam sains. Di sinilah terletak sifat mendua dari konsep penelitian agama.
Tetapi, mau tak mau harus dibedakan karena implikasinya jauh ke depan mengenai nasib studi keislaman pada Sekolah Tinggi misalnya. Apakah nanti akan menghentikan penyelidikan hadis? Bukankah apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari telah merintis penelitian Ilmiah?. Maka dalam hal ini, menurut penulis ada benarnya pendapat Taufik Abdullah (Taufik Abdullah, (ed.)1991: xiii) bahwa harus dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter penelitian yaitu; pertama, agama sebagai doktrin. Memang pada kategori ini akan berpuncak pada usaha pencarian kebenaran agama. Tetapi dalam kerangka Filsafat ilmu, maka seorang peneliti atau mujtahid akan berakhir dengan ucapan inilah ajaran sesungguhnya. Dan pada saat itulah sebenarnya sikap objektifitas telah muncul dari tradisi akademis bahwa sepanjang penelitian saya inilah maksud inilah yang benar. Dalam kaitan ini dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan tentang esensi agama. Dengan pendekatan ini menurut Taufik Abdullah memungkinkan para ahli membuat “rekonstruksi” dari hubungan timbal balik agama dengan manusia. Maka pada akhirnya ilmu perbandingan agama misalnya mendapat tempat dalam studi ini.
Kategori kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Di sinilah batasan yang jelas dari studi islam memperoleh tempat dalam kerangka penelitian tatanan masyarakat yang dibentuk dari kepemelukan agama. Maka tidak terlalu sukar untuk membayangkan bahwa corak ini nantinya bercorak penelitian social-sosiologi, sntropologi, sejarah dan sebagainya.
Kategori ketiga, adalah mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Kategori ini adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama. Harus diingat bahwa ada dua bentuk besar pemahaman ajaran agama dari masyuarakat yaitu; masyarakat pertanian (pedesaan) dan masyarakat perkotaan. Menurut Kuntowijoyo (1994), karakteristik dasar dari Islam pedesaan adalah mobilitasnya menurun, dipengaruhi budaya agraris yang statis dan percaya mistik. Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat perkotaan yang cosmopolitan. Sehingga walaupun tidak sepenuhnya demikian, dalam kenyataan islam yang ada di pedesaan adalah islam normative dan sempit sertga dijalankan secara rigid (kaku)[4]
Melihat kepada kategori yang diberikan Taufik Abdullah di atas, maka studi islam lebih luas dan dapat memesauki lapangan metodologi yang lebih luas pula. Bahkan dengan menggunakan paradigma positivistic sekalipun, studi islam dapat dilakukan. Apakah menggunakan penelitian kualitatif ataupun kuantitatif. Hal ini sebagaimana pendapat noeng muhajir (Taufik Abdullah (ed.) 1991) dalam penelitian agama nantinya akan lebih ajeg dan konsekuen bila didasari oleh falsafat dan metodologi tertentu. Ini berarti dapat masuk ke wilayah metodologi apapun. Penelitian kuantitatif misalnya berguna dalam mengukur tingkat antusiasme umat terhadap pendidikan atau dakwah.
Dalam kajian filsafat ilmu dikenal adanya objek formal dan objek material, sebagai bagian dari filsafat ilmu, studi islam mengacu kepada kedua objek tersebut. Objek formal yaitu cara memandang dari sesuatu yang diteliti adalah bagian dari pertumbuhan ilmu-ilmu ke-islaman semisal fiqh, ulumul quran dan hadis dan sebagainya. Sedangkan yang menjadi objek material adalah doktrin islam itu sendiri. Disinilah terletak keabsahan studi islam dalam kerangka filsafat ilmu. Dan yang menjadi patokan dasar adalah objek formal dimana mengacu kepada paradigma, pendekatan dan metodologi yang digunakan. Maka studi islam pada akhirnya menuntut adanya pengembangan dari halk tersebut. Sebagai missal, dalam studi al-Quran, Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Quran adalah seumpama  mutiara yang memancarkan cahayanya di setiap sudut pandangan. (Quraish Shihab, 1998). Jadi sangat jelas batasan studi Islam bila dikaitkan dengan filsafat ilmu. Ditambah lagi dalam kerangka trium virat filsafat yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi maka studi islam berada dalam kawasan itu.
Berkaitan dengan cirri ilmu adalah berkembang, maka apakah studi islam juga berkembang? Pertanyaan ini pernah dikemukakan LIPI (lemmbaga Ilmu Penegtahuan Indonesia). Sebagai jawabannya, menurut Harun Nasution (Harun, 1998) perkembangan ilmu ke-Islaman terjadi dalam wilayah perkembangan modern dan pembaharuan Islam.Di dalamnya terjadi perkembangan ide, konsep, metode dan falsafat berfikir terhadap objek material studi islam.
  1. Islam dan sains
Berangkat dari pertanyaan Einstein di atas, sebenarnya “the end point” dari sains itu adalah Islam. Alam ini diatur oleh seorang Master designer. Maka asumsi yang didapati dari pertanyaan islamisasi sains adalah niat yang berdasarkan kepada nilai-nilai (value) yang menjadi dasar pengerjaan sains. Karena islam menurut bang Imad menentukan pengkajian mana yang perlu diprioritaskan dan atas dasar apa prioritas itu ditentukan. Sehingga ilmu adalah apa yang melekat pada dirinya. Ilmu adalah robot yang bergerak tanpa dosa. Dan dalam kaitan ini isalm berada pada tataran aksiologis dari pertanyaan Quo Vadis Ilmu? Jadi persoalan islamisasi sains sebenarnya terletak pada penetapan nilai dan prioritas.
Dengan demikian takkan ada lagi paradigma ilmu-ilmu secular (Barat) dan ilmu islami. Yang ada adalah bahwa ilmuwan secular dan ilmuwan islami. Karena studi islam sekalipun sebenarnya bias menjadi sekuler ketika pengkajian yang dilakukan tanpa nilai misalnya penetapan hukum islam yang berangkat dari paradigma positivistic dan materialis. Maka yang ada hanyalah hhukum secular jauh dari nilai agama.
Professor Ahmad Baiquni, seorang fisikawan pertama Indonesia, mengemukakan bahwa antara islam dan sains amatlah berkaitan erat bila dikaitkan dengan begitu banyak prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Quran. Hal itu ditegaskan pula oleh Quraish Shihab bahwa ayat pertama surat al-‘Alaq yaitu Iqra merupakan isyarat dan pandangan al-Quran terhadap ilmu dan teknologi.[5] Jadi sebenarnya tak ada masalah antara islam dan sains. Karena bukankah Nabi pernah bersabda:”siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, siapa yang menginginkan akhirat haruslah dengan ilmu, dan bagi yang menginginkan keduanya maka haruslah dengan ilmu”. Kemudian jika dibawa kepada setting sejarah, bahwa islam pernah menjadi kampiun ilmu pengetahuan. Mengapa itu bias terjadi, karena umat islam ketika itu dapat menyelaraskan antara sains dan ajaran islam. Terutama kemampuan mereka memadukan antara pertemuan dua kutub filsafat barat (hellenisme yunani) dengan filsafat timur (sasanid Persia). Hanya saja karena ulah umat islam sendiri yang kemudian berbalik menghancurkan Islam.

V. Penutup
            Dalam bagian terkahir ini, penulis menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dalam hhubungannya dengan studi islam dan sains islam adalah sebuah garis linear yang sinkron. Dan perbedaan antaranya adalah pada sekat yang tipis dalam sebuah pertanyaan quo vadis ilmu? Karena filsafat sebenarnya adalah proses tersebut. Dan mengacu kepada filsafat ilmu ia akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Akhirnya mengacu kepada Quraish Shihab dalam persoalan penafsiran al-Quran, al-Quran ibarat sebuah mutiara yang memancar di setiap sudut. Dan dari sudut mana dipandang ia tetaplah benar namun di situ pula letak ketidakbenaran pandangan itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar