Jumat, 21 Desember 2012

BUCHARI BIN MUCHTAR: KONSEP TAFSIR TAHLILI

BUCHARI BIN MUCHTAR: KONSEP TAFSIR TAHLILI: KONSEP-KONSEP TAFSIR TAHLILI A. PENDAHULUAN Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as dalam bahasa Ar...

Rabu, 19 Desember 2012

Perlukah UN (Ujian Nasional?)

polemik tentang pelaksanaan ujian nasional (UN) selalu hangat diperbincangkan. sikap dan argumen Pro-kontra menjadi silih berganti mengiringi pelaksanaan UN tersebut. Berdasarkan apa yang diperdebatkan, maka terdapat beberapa masalah pokok yang perlu diluruskan yaitu;
1. Hakikat penilaian dalam sistem pendidikan
2. Penyetaraan dan pemerataan pendidikan
3. Otonomi daerah dan kaitannya dengan pendidikan
masalah pokok ini jika diluruskan dan dipahamkan sejak awal maka persoalan UN menjadi jelas dan tidak menjadi polemik berkepanjangan.
masalah pertama adalah hakikat penilaian dalam sistim pendidikan, sistim pendidikan dimaknai sebagai keseluruhan bagian/unsur/komponen pendidikan yang bersinergi guna mencapai tujuan pendidikan. unsur/komponen pendidikan sudah jelas terdapat tiga hal pokok yaitu tujuan (kompetensi), proses (termasuk di dalamnya prosedur, rencana, metode, strategi, media, sumber dan pendidik) dan evaluasi. keseluruhan unsur tersebut menyatu/integral dalam kurikulum pendidikan. kurikulum adalah simpulan dari tiga unsur tersebut. jika salah satu dari unsur tersebut hilang maka sistim pendidikan tidak berjalan baik dan pincang. hasilnyapun sudah bisa ditebak akan kabur dan tidak jelas. apakah setiap unsur penting dari yang lainnya? apakah bisa ditutupi dengan unsur lainnya? jawabnya adah tidak sama sekali. tidak ada yang lebih penting dari masing2 unsur kecuali ketiga unsur tersebut diwujudkan. tidak bisa satu unur saja yang dijalanka. apalagi menyangkut dengan evaluasi. jika evaluasi dihilangkan maka tujuan dan proses menjadi kabur makna.
masalahnya bagaimana evaluasi itu dijalankan? apakah dengan UN?


Evaluasi memerlukan instrumen pelaksanaannya. Evluasi adalah sebuah kegiatan pengumpulan data dan mengolah data tersebut menjadi informasi. Data yang dikumpulkan terdiri dari dua cara yaitu Tes dan Non Tes. Tes adalah instrumen pengumpulan data melalui soal yang harus dijawab oleh testee (peserta didik). Sedangkan Non Tes adalah isntrumen pengumpulan data melalui proses, unjuk kerja dan karya dari peserta didik.
UN merupakan bentuk pelaksanaan evaluasi dengan instrumen Tes. Pelaksanaan Tes dipergunakan jika dipergunakan secara luas dan terjadwal.
Secara teoritis, pelaksanaan UN telah memenuhi unsur dari sistim pendidikan.  Di samping itu, melalui UN diperoleh informasi tentang pendidikan di seluruh tanah air. Melalui informasi dari hasil UN dapat dipetakan kondisi dan situasi pendidikan. Informasi tersebut berguna bagi penentuan kebijakan dan pengembangan pendidikan serta berguna bagi standarisasi SDM dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa. Informasi tentang keberhasilan pendidikan, tentang perkembangan pendidikan di tanah air tidak dapat diketahui kecuali melalui tes yaitu UN. melalui
Berdasarkan kajian teoritis tersebut, maka kurang tepat jika UN disebut sebagai kegiatan yang sia-sia atau tidak berdampak pada pendidikan. Justru pelaksanaan UN hakikinya telah melaksanakan sistim pendidikan.
Masalahnya adalah kenyataan pada praktik pelaksanaannya apakah sesuai dengan prinsip dari evaluasi? Hal inilah yang menjadi batu sandungan dan menjadi titik lemah dari pelaksanaan UN tersebut. Apalagi dikaitkan dengan otonomi daerah, dimana pendidikan dikelola oleh pemerintah daerah. Kondisi tersebut menyebabkan pendidikan di daerah terseret kepada ranah politik praktis (guru, karyawan adalah bawahan langsung dari kepala daerah). Disinilah prinsip evaluasi mulai tergerus dan bahkan hilang sama sekali. Prinsip objektifitas misalnya berganti menjadi subjektifitas hanya karena berkaitan dengan situasi politik di daerah. Banyak kasus guru yang harus melupakan prinsip evaluasi karena tekanan politik dari atasan serta lingkungan. karena kepentingan kepala daerah yang mengingkan nilai siswa tinggi maka segala cara licik dilakukan meskipun dipermukaan tampak objektif.
Pengalaman penulis menjadi tim pemantau independen (TPI) dari perguruan tinggi, praktik kecurangan dalam pelaksanaan UN telah umum dan merata disemua daerah. laporan tentang kecurangan itu tidak ditindaklanjuti secara serius, hal ini bisa jadi karena kewenangan pendidikan yang besar pada daerah dan tumpang tindih kewenangan antara kementerian, kanwil dan diknas yang notabene bawahan langsung kepala daerah. menteri tidak punya kewenangan intervensi langsung ke sekolah, karena bukan kewenangan menteri. menteri juga tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kecurangan yang dilakukan oleh kepala daerah. karena kepala daerah tidak bertanggungjawab pada menteri atau presiden sekalipun. bahkan banyak kepala dinas dan kepala sekolah serta pengangkatan guru PNS yang tidak sesuai dengan standar kompetensi terjadi di daerah. mereka diangkat hanya karena relasi politik semata bukan karena kompetensi.
kondisi tersebut tidak membuat kita menafikan kejuuran dan objektifitas yang ada di daerah, hanya saja karena mereka tersingkir dan di bawah tekanan politik menjadikan mereka dipaksa mengikuti keadaan dan pendidikan lagi-lagi mejadi korbannya.
ekses negatif lainya adalah pada diri siswa telah tertanam cara berfikir instan dan enteng. mereka cukup membayar uang sekian kepada sekolah tanpa persiapan untuk ikut UN. karena mereka sudah pasti lulus dengan nilai yang baik meskipun tidak belajar sam sekali. siswa yang rajin dan potensial menjadi terpengaruh.
Mengatasi masalah ini, mau tak mau harus dipikirkan kembali mengenai kewenangan pendidikan dalam sistim otonomi daerah. Karena ekses yang ditimbulkan hampir di semua daerah pendidikan terseret pada wilayah politik yang berbahaya bagi kelangsungan bangsa. Jika pendidikan tidak menjadi dirinya sendiri dalam pelaksanaannya maka pertanda bahwa masyarakat atau bangsa akan mundur. Pendidikan adalah sokoguru bangsa yang harus bebas dari politik kepentingan dan kekuasaan tertentu.
Masalah lain adalah mengenai pemerataan standar UN, secara konsep memang begitu adalnya dari sebuah konstruksi tes. Tidak mungkin konstruksi tes dibuat tinggi rendah. Hal itu menjadi rancu dan kabur makna. UN adalah tes standar yang telah memenuhi validitas dan reliabilitas tinggi. Hal ini tidak mungkin disesuaikan dengan kondisi pendidikan pada suatu daerah atau sekolah dengan menurunkan standar tes tersebut. Justru dengan adanya tes standar tersebut diperoleh informasi tingkat pencapaian dari standar yang ditetapkan. Pengukuran menjadi mudah dan jelaslah kondisi pendidikan. Melalui informasi tersebut diolah menjadi nilai kesetaraan yang harus dicapai serta seberapa jauh jarak nilai yang harus dipenuhi (dalam teori evaluasi disebut  penyetaraan tes). Dengan demikian upaya peningkatan SDM bisa dilakukan bagi daerah atau sekolah yang jarak penyetaraan tesnya tinggi. Hal inilah yang dituntut secara prinsip dari pemerataan pembangunan.
Bagaimana dengan kelulusan siswa?
Masalah ini juga menjadi alasan dari penolakan UN, sebenarnya UN sebagai instrumen evaluasi tidak serta merta menjadi keputusan. Pengambilan keputusan kelulusan tidak bisa ditetapkan dengan satu isntrumen saja. Kelulusan berkaitan dengan non tes yang hanya diketahui dari informasi sekolah (guru). Dengan demikian kurang tepat jika informasi UN dijadikan keputusan untuk menetapkan kelulusan.
kelulusan siswa tidak bergantung pada tes semata, tapi mencakup keseluruhan proses pendidikan yang dia ikuti selama di sekolah. Sehingga masalah lulusnya siswa ditentukan dari akumulasi niali UN ditambah dengan nilai proses pendidikan di sekolah.
Jadi tidak tepat pula untuk mengatakan semua harus diserahkan kepada sekolah tanpa dibantu dengan UN. Karena ini akan menyebabkan standar tes tidak dimiliki. Hanya saja ini mejadi penentuan peringkat kelulusan.
Memang harus diakui kondisi pendidikan yang tidak sama di semua daerah dan perkotaan menyebabkan UN memberikan informasi beragam. Tidak adil jika menyamaratakan kondisi sarana prasaran sekolah yang amburadul dengan sarana prasarana sekolah yang lengkap.
Jadi msalah kelulusan tidak menjadikan UN dihapuskan atau dihilangkan, tetapi UN tidak menjadi satu-satunya keputusan tentang kelulusan.
Berdasarkan ulasan di atas, kiranya dapat disimpulkan melalui rekomendasi yang dapat kita sampaikan  di bawah ini;
1.       Perlu dikaji ulang pendidikan dalam sistim otonomi daerah, (sebab kewenangan yang sangat besar pada kepala daerah menyebabkan pendidikan terseret politik kepentingan dan kekuasaan)
2.       Kelulusan siswa tidak melalui hasil UN saja
3.       Informasi hasil UN hendaknya ditindaklanjuti dengan peningkatan mutu pendidikan di daerah yang rendah nilai UNnya.

Pendidikan adalah sokoguru suatu bangsa, pendidikan maju maka majulah suatu bangsa, pendidikan mundur maka mundurlah suatu bangsa.