Jumat, 31 Agustus 2012

Pemahaman pendidikan dalam perspektif negara di dunia


Pemahaman pendidikan dalam perspektif negara di dunia
1.       Di negara yang sedang berkembang, pendidikan dipandang sebagai suatu “process of cultural transmission” yakni untuk menyampaikan dan melestarikan kebudayaan yang telah mapan.
Wawasan pendidikan dan pengaajaran sejarah yang dianut oleh negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan itu sangat menekankan pada bentuk sejarah nasional.
2.       Sistem pendidikan di negara yang menganut faham sosialis dan komunis, memandang pendidikan merupakan suatu “ process of cultural transformation” yaitu proses mengubah warga negara dan masyarakat menjadi tenaga kerja yang amat diperlukan dalam lapangan kerja dan industri. Pengajaran sejarah dengan demikian harus diarahkan pada penanaman pengertian tentang kebenaran prinsip “perjuangan kelas” yang mendasarkan diri pada  asas-asas “historis materialisme” atau hukum perkembangan masyarakat berdasarkan “dialektika materialisme”
3.       Sebaliknya di negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menganut sistem sosial yang bersifat individualistik dan liberalistik, maka pendidikan dipandang sebagai pengembangan pribadi individu yang unik. Pendidikan dan pengajaran sejarah di sekolah, dengan demikian, harus dikembangkan untuk dua tujuan utama, yakni (a) kebanggaan nasional, dan (b) pengembangan saling pengertian antar bangsa.
4.       Meskipun Indonesia termasuk salah satu negara yang sedang berkembang-sesuai dengan perkembangan pendidikan yang cukup pesat berdasarkan Pancasila, UUD45, GBHN dan UU No 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional—pendidikan dan pengajaran sebenarnya memiliki fungsi dan tujuan sesuai dengan teori:
a.       Cultural transmission yaitu tercermin dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, budi pekerti  luhur jiwa dan wawasan kebangsaan serta cinta tanah air.
b.      Cultural transformation yaitu memiliki disiplin dan rasa tanggungjawab, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan pembangunan bangsa.
c.       Individual development yaitu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, serta mengembangkan saling pengertian antar bangsa.

Pendidikan sejarah di sekolah secara tradisional memang diarahkan pengembangan pengetahuan dan pemahaman terhadap berbagai kawasan dunia, cara berfikir kronologis, apresiasi nilai-nilai budaya, jiwa dan semangat nasionnalisme da patriotisme, serta sikap toleransi yang diarahkan kepada para siswa sebagai generasi penerus yang dibangun atas dasar pemahaman dan pewarisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Akan tetapi apa yang terjadi—baik proses pengembangan kemampuan berfikir kronologis yang merupakan kemampuan berfikir dasar dalam sejarah, maupu sikap toleransi yang dikembangkan—masih merupakan suatu nurturant effect. Akibatnya, kemapuan berfikir kronologis dalam arti kontinuitas dan perubahan sejarah dalam persfektif waktu (yang tidak selalu linear), maupun kemampuan menentukan rangkaian kausalitas dalam peristiwa-peristiwa sejarah, juga belum dikembangkan secara adequat.

Kamis, 30 Agustus 2012

Memahami Nasionalisme dan Pendidikan

Akhir-akhir ini marak dibicarakan Nasionalisme. hal ini berkaitan dengan kenyataan berbagai pertikaian baik politik maupun konflik fisik yang dikhawatirkan dapat memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa. peristiwa yang terjadi belakangan memang menjurus kepada konflik horizontal yang diindikasikan bermuatan SARA yang mengancam keutuhan bangsa.
banyak pakar, tokokh maupun pemimpin mengeluhkan tentang nasionalisme yang telah berkurang kadar penghayatannya di tengah masyarakat. nasionalisme sejatinya adalah tujuan bersama yang mengikat perbedaan sehingga menjadi satu kesatuan hidup bersama demi kepentingan bersama dalam sebuah wadah yang disebut negara. Nasionalisme dari akar kata nation yang berarti bangsa, suku bangsa, kebangsaaan, adalah sebuah kumpulan orang-orang yang membentuk satu ciri kebudayaan, peradaban dan filosofi hidup secara bersama diyakini dan diamalkan. Ketika pikiran dan rasa kebangsaan tersebut menyatu dalam gerak kesadaran individu dalam menjalani kehidupan bersama tersebut telah kuat maka menjadilah ia sebuah ajaran, paham, ideologi yang disebut Nasionalisme.
nasionalisme terbentuk oleh adanya kesamaan pandangan, karakter, budaya dan tujuan hidup dari orang, masyarakat atau suku bangsa. Indonesia sebagai nama dari nasionalisme di kepulaun nusantara ini terlahir oleh adanya kesamaan pandangan hidup untuk merdeka dari penjajahan. kemudian kesamaan tersebut ditunjang oleh adanya kesamaan karakter, budaya, peradaban dan filosofi hidup masyarakatnya.
dalam perjalanannya, nasionalisme indonesia tersebut mengalami pasang surut, terkadang menggebu-gebu khususnya di masa pra kemerdekaan dan beberapa tahun sesudahnya. pekik merdeka tetap merdeka adalah slogan nasionalisme yang kuat. memang pada masa itu nasionalisme begitu masif karena kesamaan pandangan tentang kemerdekaan begitu kokoh. selanjutnya ketika zaman berganti, pandangan tentang kemerdekaan berubah. maka nasionalisme indonesia mulai meredup. pandangan kemerdekaan dimaknai berbeda berkaitan dengan tuntutan bagaimana sebaiknya mengelola kemerdekaan indonesia.
akibat kemerdekaan yang muda dan belum ditunjang oleh karakter, budaya dan filosofi yang kuat karena bertumpu pada kesamaan pandangan kemerdekaan semata, maka di saat itulah nasionalisme indonesia mulai goyah.
harus disadari bahwa nasionalisme indonesia dibina dan dilahirkan oleh pemimpin yang tumbuh dari lingkungan pendidikan. Sukarno, hatta dan lain-lain dipertemukan dan satukan melalui pendidikan. berbeda pada masa perlawanan sporadis kerajaan nusantara dulunya yang tidak dipertemukan melalui pendidikan.
berdasarkan hal itulah, menurut hemat penulis, kesadaran nasionalisme yang dianggap meredup akhir-akhir ini, barangkali disebabkan oleh faktor pendidikan yang tidak lagi menanamkan nasionalisme.
memang gempuran kapitalisme yang berkuasa di dunia global saat ini yang melahirkan filosofi liberalisme di segala bidang memberikan pukulan dan serangan kepada nasionalisme. atas nama ekonomi global, kedaulatan ekonomi sebagai wujud nasionalisme misalnya dapat hancur karena serangan kapitalisme. begitu juga di bidang lainnya.
kembali kepada pikiran kaitan nasionalisme dan pendidikan, seharusnya pendidikan menjadi sokoguru utama dalam membina nasionalisme indonesia. nasionalisme tidak dapat dibina dalam partai politik. karena politik adalah urusan kekuasaan. selayaknya perlu dikaji lagi tentang fungsi pendidikan sebagai bagian dari tujuan nasional.
semenjak reformasi, pendidikan nasional terkena dampak dari kapitalisme. swatanisasi pendidikan tampak merusak secara perlahan nasionalisme pendidikan. ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan pengelolaan penddiikan bagi daerah. melihat kepada semangat otonomi maka sah2 saja pendidikan diserahkan kepada daerah, tapi melihat kepada kondisi bangsa saat ini dan kenyataan nasionalisme, maka perlulah kiranya pendidikan dikembalikan kepada sentralisasi.
sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan telah disalah gunakan oleh oknum pemimpin untuk kepentingan politik. misalnya mulai dari pengangkatan tenaga kependidikan yang KKN, para guru yang tidak dibina, infrastruktur sekolah, penddiikan yang dikorupsi serta kebijakan politik tawar menawar jabatan mulai dari kepala sekolah sampai kepada kepala dinas yang hanya didasari pertimbnagan politik. bukan atas dsar kariri dan kemampuan.
pengelolaan pendidikan yang benar dapat menumbuhkan nasionalisme sejak dini bagi setiap warga negara.
sebagai langkah awal, pendidikan harus dikelola oleh pemerintah pusat. sehingga nasionalisme bisa terjaga secara baik.

Kamis, 16 Agustus 2012

Daftar PTN yang sudah mengumumkan Penerimaan CPNS Dosen di Lingkungannya

  1.  Institut Teknologi Bandung (ITB)
  2. Universitas Sriwijaya (Unsri)
  3. Universitas Lampung (Unila)
  4. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
  5. Universitas Diponegoro (Undip)
  6. Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)
  7. Universitas Airlangga (Unair) 
  8. Universitas Brawijaya (UB) 
  9. Univesitas Mulawarman (Unmul)
  10. Universitas Tadudako (Untad)
  11. Universitas Hasnuddin (Unhas)
  12. Univesitas Mataram (Unram) 
  13. Universitas Nusa Cendana(Undana)
  14. Universitas Negeri Padang (UNP)
  15.  Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
  16. Universitas Negeri Manado (Unima) 
  17. Uiversitas Negeri Malang (UM)
  18. Poltek Negeri Sriwijaya (Polsri) 
  19. Poltek Negeri Banjarmasin (Poliban)
  20. Poltek Negeri Surabaya(PENS) 
  21. Poltek Negeri Ujung Pandang (PNUP) 
  22. Poltek Negeri Jakarta (PNJ) 
  23. Poltek Negeri Padang (Polinpdg) 
  24. Poltek Negeri Pontianak (Polnep) 
  25. Poltek Negeri Samarinda (Polnes) 
  26. Poltek Negeri Lampung (Polinela)
  27. Universitas Riau (UNRI) 
  28. Universita Lambung Mangkurat (Unlam) 
  29. Universiitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) 
  30. Universitas Negeri Semarang (Unnes) 
  31. Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha)
  32. ISI Surakarta 
  33. Universitas Udayana (Unud)
  34. Universitas Andalas (UNAND)
  35. Universitas Tanjungpura (Untan)
  36. Universitas Indonesia (UI)
  37. Universitas Sumatera Utara (USU)
  38. Universitas Syahkuala (Unsyiah)
  39. Universitas Sam Ratulangi (Unsrat)
  40. Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)
  41. Universitas Gadjah Mada (UGM)
  42. Universitas Bengkulu
  43. Universitas Negeri Medan (Unimed)
  44. Poltek Negeri Media Kreatif
  45. Politeknik Negeri Semarang (Polines)

Selasa, 14 Agustus 2012

Makna Kemerdekaan

Renungan dalam suasana memperingati Kemerdekaan RI.

Apakah makna merdeka dan kemerdekaan itu sudah kita sepakati bersama dalam menjalani kehidupan bernegara yang kita dirikan ini?
merdeka apakah makna hanya sekedar terbebas dari penjajahan fisik?
mengapa terjadi kesenjangan?
apakah sekedar menukar kulit? apa beda VOC dengan penguasa sekarang?
Mari kita merenung sejenak, apakah hakikinya dari kemerdekaan. seringkali kita mendengar selentingan malu menjadi orang Indonesia, mengapa?
penjajajhan dalam pengertian kolonialisme tradisional dalam bentuk pendudukan paksa yang ditandai dengan kehadiran tentara atau militer suatu kelompok bangsa atas bangsa lain memang tidak lagi kita rasakan.
kita tidak lagi dijajah dan diatur oleh suatu kekuasaan yang bukan dari bangsa kita sendiri.
lantas apakah kita sudah merdeka?
Hamka mengatakan bahwa hakikat dari merdeka itu adalah kebebasan dari jiwa dalam berkarya dan bertindak menurut aturan yang disepakati bersama. jiwa itu tidak terkekang.
draft to be revised

Sabtu, 04 Agustus 2012

Menguak Akar Budaya Islam; Suatu Konsep Dasar Peradaban Islam


I.                    Pengantar
Pada dekade pertengahan abad 20 M sekitar tahun 1950-an di dunia Islam terjadi upaya merekonstruksi tentang pemikiran Islam terutama masalah realitas budaya Islam. Diantaranya seperti apa yang didengungkan oleh Hasan Hanafi yang menggelorakan semangat al-Turats wa al-Tajdid (peradaban dan pembaharuan).[1]
Kemudian ada lagi Syed Hossen Nasyr yang mengajak kembali kepada tradisi dan teks Islam. Kemunculan ide besar di atas tidak lain karena melihat keterpurukan umat Islam yang tidak berdaya menghadapi Barat. Ide-ide tersebut dianggap sebagai penunjuk arah baru kebangkitan Islam. Tetapi pada saat bersamaan terdapat masalah di sekitar budaya Islam. Sampai sekarang belum ditemukan rumusan yang jelas dan disepakati tentang apa yang dimaksudkan dengan budaya Islam. Ketika merujuk ke Arab, apa yang menjadi tradisi pada masyarakat di sana menjadi “baku bantah” di saat mengidentifikasi apakah itu budaya Arab atau Isam? Masalah seperti ini menghangat pada wilayah Islam yang lebih luas termasuk Indonesia.[2] Kalau Syed Hossen Nasyr memasukan budaya Islam secara keseluruhan termasuk Arab pra Islam. Lantas bagaimana kaitannya dengan budaya local pada wilayah Islam lainnya seperti Indonesia? Termasuk di sini misalnya apa yang diagendakan Muhammadiyah yaitu dakwah cultural. Agaknya perumusan kembali akar budaya Islam haruslah menjadi point utama sebelum menjabarkan epistemology bangunan budaya Islam. Karena dikhawatirkan budaya Islam yang ada tidak memiliki jati diri yang jelas dan menganggap Islam adalah sebagai budaya itu sendiri. Maka dalam makalah sederhana ini mencoba membahas tentang akar budaya Islam dimulai dengan pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan budaya Islam?

II.                  Kebudayaan dan peradaban, sebuah pengertian dasar.
Penting untuk diketahui disini bahwa  antara kebudayaan dan peradaban terdapat distingsi yang jelas. Persoalannya tidak sesederhana mengatakan bahwa peradaban adalah sama dengan kebudayaan begitu saja. Sebab, kebudayaan memiliki batas yang lebih luas dibandingkan dengan peradaban itu sendiri, yakni dalam arti keseluruhan aspek budaya itu. Maka istilah peradabanlah yang lebih tepat. Peradaban mencakup perwujudan dari budaya individu dan masyarakat sebagai wujud semangat berkreasi yang menggerakkan entitas masyarakat berbudaya dengan meninggalkan bekas yang nyata. Termasuk ke dalam arti ini adalah peninggalan suatu masyarakat atau bangsa yang terefleksikan ke dalam politik, ekonomi dan teknologi. Sebaliknya kebudayaan menyempit pada wilayah seni dan moral. Jika dikatakan budaya suatu masyarakat, tentunya asumsi yang tergambar adalah bentuk ritus, tarian dan seni lainnya.
Kebudayaan dalam bahasa  Arab disebut al-Tsaqafah, bahasa Inggris culture, yang merupakan hasil cipta rasa dan karsa manusia. Hal itu sebagaimana definisi yang popular oleh E.B Taylor dalam Primitive Culture yang menyebutkan bahawa kebudayaan adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia. Kebudayaan dalam bahasa Indonesia dipahami berasal dari kata bodhi atau budi. Kata ini sebelumnya erat kaitannya dengan kepercayaan Hindu. Kebudayaan selanjutnya adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam dalam suatu masyarakat. Dalam kajian antropologi, kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu (1), wujud idial, yaitu kebudayaan sebagai suatu komplek ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2), wujud kelakuan, dan (3), wujud benda.[3] Jadi dipahami bahwa wujud pertama merupakan landasan ideal dari peradaban. Karena wujud kedua dan ketiga merupakan wilayah peradaban yang disebutkan di atas.

Peradaban dalam bahasa Arab al-hadharah,  dalam bahasa Inggris civilization, adalah manifestasi kemajuan mekanis dan teknologi yang terefleksi dalam wujud perilaku dan benda.[4]  Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa kebudayaan emncakup peradaban tetapi sebaliknya peradaban tidak mencakup kebudayaan. Memang sebelumnya kedua istilah ini ekuivalen. Pemahaman tersebut dapat diterima dalam kerangka sumber yang sama yaitu ciptaan manusia (man creation). Hubungan seperti inilah yang dianggap oleh sebagian orang bahwa budaya adalah sama saja dengan peradaban. Namun berdasarkan perkembangan ilmu antropologi yang menyatakan bahwa dalam arti implementasi, kedua istilah ini tidak digandengkan atau berbeda penempatannya. Karena beberapa alas an yaitu; pertama, budaya sebagai wujud ideal (norma-norma) termasuk hal immateri yang didapat dari perenungan manusia. Kedua, hal ini untuk memudahkan memahami masyarakat yang lebih luas. Ketiga, untuk membuat kerangka yang jelas mana yang dikatakan agama dan mana yang dikatakan sebagai ciptaan manusia. Di sini, sampailah pada suatu pemahaman mendalam tentang apa yang dikatakan kebudayaan dan apa yang dikatakan peradaban. Kebudayaan identik kepada spirit, semangat mendalam dalam masyarakat. Sedangkan peradaban merupakan manifestasi kemajuan mekanis dan teknologi. Pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kaitannya dengan Islam? Apakah Islam sebuah budaya? Apakah yang dikatakan budaya Islam)
Islam dalam pengertian di sini adalah agama adalah agaman yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang landasan pokoknya al-Quran dan Hadis Mutawatir. Jadi Batasan Islam sangat jelas. Ia bukanlah ciptaan manusia. Ia adalah wahyu Tuhan. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Islam itu adalah budaya ciptaan manusia. Lalu apa yang dipahami dari kebudayaan sebagai wujud ideal? Norma-norma? Bukankah Islam adalah juga aturan-aturan?
Norma yang ada dalam kebudayaan bukanlah norma dasar tetapi norma dalam arti semangat. Norma yang lahir kemudian bersumber pada ajaran Islam. Jadi, kebudayaan Islam bukanlah Islam (itu sendiri) melainkan kebudayaan yaitu kebudayaan karya orang Islam yang “committed” atas agamanya.[5]
Bagaimana peradaban Islam? Nisbah ketiga hal di atas adalah Islam merupakan landasan dari kebudayaan Islam  dan kebudayaan Islam merupakan landasan bagi lahirnya peradaban Islam. Yakni al-Quran dan Sunnah menjadi spirit atau budaya masyarakat Islam dalam membentuk kebudayaan yang selanjutnya melahirkan peradaban Islam.
Dengan demikian dapatlah dijabarkan titik perbedaan agama Islam dengan agama non samawi (agama yang lahir dari pemikiran dan perenungan filosofis manusia). Agama dalam pengertian non samawi ini menganggap kebudayaan sama dengan agama. Sedangkan dalam Islam, Agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Agama Islam mendorong pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dan peradaban Islam. Lihat misalnya, QS Ali Imran 3: 189, QS. 58:11, QS 17:36, QS 22:46.

III.                Apakah yang disebut peradaban Islam?
Berdasarkan uraian dari kebudayaan dan peradaban di atas, maka yang dimaksudkan dengan peradaban Islam adalah perwujudan (manifestasi) dari wujud prilaku dan benda dari kebudayaan Islam yang bersumberkan kepada ajaran Islam . Namun dalam kaitan ini haruslah dipertajam kembali tentang pemahaman Islam sebagai wahyu dan doktrin pada satu sisi dengan Islam dalam arti manifestasi dari doktrin tersebut. Termasuk ke dalam hal ini menganggap doktrin Islam sebagai sebuah system credo sebagaimana pernyataan H.A.R. Gibb,”Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization[6] pernyataan ini sering diterjemahkan sebagai; “Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna.[7]Masalah selanjutnya adalah dimana domain atau ranah peradaban Islam itu? Banyak penulis Barat yang menganggap peradaban Islam dan budaya Islam identik dan bahkan sama dengan peradaban Arab. Anggapan seperti itu jika dipahami sepintas akan membawakepada pemahaman bahwa Arablah sebagai center of Islam (pusat Islam). Wilayah di dunia ini bukan sebagai pusat Islam melainkan sebagai daerah pinggiran atau meminjam istilah Nurcholish Madjid “Islam peripheral”[8] termasuk Indonesia yaitu tidak memiliki peradaban yang jelas dalam hubungannya dengan Islam. Nurcholish Madjid menolak dengan tegas stigma Islam pinggiran tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan ciri dari peradaban Islam yang perlu dipahami. Kapankah sebuah peradaban dikatakan sebagai peradaban Islam? Pertanyaan ini membawa kepada dua hal yang urgen untuk dibahas yakni pertama; tidak semua peradaban dikategorikan Islam. Kedua, peradaban Islam menyangkut paling tidak cirri-ciri berikut yakni;
1.      Peradaban Islam adalah yang dibawa,dihasilkan dan dilaksanakan orang Islam
2.      Peradaban yang berada di wilayah orang Islam
3.      Peraadaban yang bersemangatkan Islam.
Dalam babakan sejarah Islam terbagi kepada tiga periode besar[9] yaitu pertama, periode klasik, sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Sampai dengan 1250 M yaitu sejak kelahiran pranata Islam di Madinah sampai keruntuhan Daulah Abbasiyah 1258 M di Baghdad. Kedua, periode pertengahan, termasuk didalamnya adalah masa kemunduran Islam dan masa kejayaan tiga kerajaan besar Islam; Turki Usmani, Mughal dan Safawi. Ketiga, peradaban Modern, termasuk masa kolonialisme dan imperialism Barat atas Islam. Berdasarkan periodesasi tersebut, peradaban Islam pada masa klasik masih dalam lingkup homogeny walaupun dalam proses asimilasi yang cepat. Yang dimaksudkan adalah yang berperan dalam pembentukan pranata social kemasyarakatan adalah orang Arab. Sehingga peradaban yang dimunculkan bernuansa Arab. Ini tidak berarti budaya local dari wilayah ekspansi Islam sudah ditinggalkan. Namun mengalami proses akulturasi. Maka yang terjadi adalah proses akulturasi yang melahirkan apa yang disebut local genius (sifat khas dan local) bias diartikan kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi pengolahan aktif terhadap pengaruh budaya asing sehingga, dapat dicapai suatu yang unik yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budaya tersebut[10] contoh par excellent adalah barzanji, teks shalawat dan lain-lain.
Anggapan bahwa peradaban Islam indenti dengan Arab dapat diterima sejauh pada periode awal masa klasik. Karena orang Arablah yang menguasai daerah Islam. Tetapi jika  memasuki masa pertengahan klasik dan seterusnya, tidaklah  tepat lagi untuk mengatakan peradaban Islam identik dengan Arab. Dengan demikian peradaban Islam memiliki wilayahh yang lebih luas dan beragam. Hal itu dimungkinkan karena pemahaman yang lebih luas dengan berbeda sudut pandang diantara wilayah Islam tersebut. Misalnya  jeins arsitektur dan pemerintahan di wilayah  Timur Tengah berbeda dengan bentuk masjid dan system feudal yang ada di Jawa. Di dalam perkembangan studi peradaban Islam, dikenal empat kawasan kajian yaitu; 1) Islam kawasan pengaruh Arab, 2), Islam  Kawasan pengaruh Persia, 3), Islam kawasan pengaruh Turki, 4), Islam kawasan pengaruh India.
Dalam kerangka pemahaman di atas, apa yang dilahirkan oleh budaya local sejauh hasil yang berasal dari akulturasi islam, maka dapat dibenarkan. Sehingga Islam dipahami membumi dan universal. Pada taraf akhir cukuplah dipahami Arab sebagai tempat lahirnya Islam dan arah kiblat umat Islam secara ortodoksi. Tetapi dalam kerangka peradaban yang lebih luas tidak mesti merujuk ke Arab. Sebaliknya merujuk kepada local genius yang dimiliki umat Islam.
Terlepas dari itu, akar budaya Islam kiranya telah tersembul keluar dari timbunan pemahaman keliru bahwa yang dikatakan budaya Islam adalah apa yang terdapat di dalam al-quran dan hadis. Padahal budaya Islam sesungguhnya adalah proses interpretasi yang tiada henti dari umat Islama sepanjang sejarah umat manusia terhadap al-Quran dan hadis yang terwujud ke dalam peradaban Islam.
IV.                Arti penting kajian Peradaban islam
1.      Mempengaruhi dan melandasi lahirnya peradaban barat Modern
Hal ini merupakan fakta yang sering dibantah atau dikaburkan oleh barat. Banyak pemikiran kesejarahan Barat yang berusaha memutus garis kesinambungan Islam dengan kemajuan Barat. Salah satu buktinya adalah kalau setiap eksperimen kehidupan modern di dunia Barat baik dalam pendidikan,teknologi, entertainment dll. Sering  dimulai pada masa Yunani kuno dan melompat pada masa pertengahan dan masa industry di Eropa.
Namun ada juga sarjana barat yang mengakui bahwa Peradaban islam mempengaruhi kemajuan dan kelahiran peradaban Eropa modern seperti yang diungkp oleh W. Montgomerry Watt dalam bukunya Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan.[11]
2.      Menemukan akar persoalan kemajuan dan kemunduran umat Islam
3.      Mendapatkan landasan bagi kebangkitan peradaban islam di abad modern.
V.                  Khatimah.
Islam bukanlah kebudayaan. Tetapi islam menjadi prinsip dari kebudayaan islam yang kemudian melahirkan peradaban Islam. Peradaban Islam adalah proses interpretasi yan tida henti dari umat Islam  terhadap ajaran Islam dan menjelma dalam wujud benda dan wujud laku kebudayaan. Peradaban Islam tidaklah selalu indentik dengan Arab. Peradaban Islam adalah manifestasi akulturasi dan tradisi local pada setiap kawasan Islam.


Dalam literature antropologi kebudayaan  culture, civilization dan kebudayaan.
Culture dari bahasa latin, cultura kata kerjanya colo, colere yang berarti memelihara, mengerjakan atau mengolah.[12]
Menurut soerdjono Soekanto hal itu berarti bahwa memelihara dalam arti mengolah tanah dan bertani.
Atas dasar arti yang dikandungnya kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut E.B Taylor kebudayaan adalah karya, rasa dan cipta yang bersifat integralistik[13]
Menurut Effat Syarqawi Kebudayaan adala apa yang kita rindukan (ideal) sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real). Kebudayaan terefleksikan ke dalam seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban terefleksikan ke dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[14]

Sivilization berasal dari kata Latin civis yang berarti warga Negara., civitas berarti warga Negara atau kota. Civilitas berarti kewarganegaraan.[15]

Kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi disebut peradaban.

Menurut Marshal G. Hugdson, peradaban yaitu warisan budaya tinggi (khususnya yang dimulai dari masa-masa pra modern yang telah beradab)..

VI.                Identitas Peradaban Islam.
Kebudayaan Islam telah datang bersama aqidah agama
Aqidah agama timbul dan berkembang dengan sempurna dalam suatu lingkaran kebudayaan dan social yang lebih lama daripada aqidah agama itu sendiri sebagian dari lingkaran ini ada yang agak asing dari aqidah islam. Setelah kebudayaan asing lama itu layu, maka aqidah agama melahirkan suatu kebudayaan baru telah sewajarnya dinamakan dengan namanya karena tidak bias dibantah lagi bahwa kebudayaan yang baru itu tenttu membawa cirri-ciri istimewa daripada aqidah tersebut.[16]
Hal ini member dasar bagi pendapat bahwa Islam sesungguhnya tidak bersifat menghilangkan terhadap praktek budaya suatu masyarakat secara menyeluruh sebagai contoh kesenian. Tida ada alasan mengatakan bahwa Islam membenci kesenian. Karena aqidah  islam yang muncul abad 7 sebenarnya hidup dalam lingkaran kebudayaan besar Persia (imperium sasanid) dan Romawi (imperium Byzantium).
Hubungan agaman dengan kekuasaan dalam membentuk peradaban Islam. Tonybee berpendapat bahwa kepercayaan agama pada mulanya adalah merupakan ideology saja kemudian oleh penguasa dunia dipahami untuk menjamin tujuan-tujuan kebangsaan dan mencapai tujuannya sendiri.
Berkembangnya peradaban Islam yang cepat pada masa abad 9 dan 13 M adalah hasil pergerakan spontanitasa rakyat dan sekali-kali bukan karena tekanan politik  Islam tidaklah sebuah imperium yang kasar dan kejam.[17]
Islam pada wilayah yang dikuasainya rakyatnya tidak disuruh memilih antara Islam atau dibunuh, tetapi antara Islam dan pajak. Itu adalah suatu politik cemerlang yang dipuji oleh setiap pendapat. Pemilihan ini tidak juga dilaksanakan secara sewenang-wenang terhadap rakyat bukan islam pada masa pemerintahan Islam Daulah Umayyah.[18]























MAKNA SEBUAH KESULITAN

Aku berbahagia dalam satu kesulitan
karena dengan sulit itulah aku berfikir dan berkelana dalam pencarian
nalarku berpacu menggali terus mencapai titik nadir
pada puncak kesadaran nalarku puas dan tersenyum

Aku benci tak ingin larut dengan kesenangan
karena diriku hilang dan lebur dalam kematian
mati dalam kehidupan adalah kesia-siaan
mati yang seharusnya tak terjadi..

aku ingin mati dalam pencarian bersama nalar yang hidup
memecahkan kesulitan itulah kebahagiaanku..

kesulitan memberikan ruang dan waktu untuk berkarsa dan berkarya.
hati-hatilah dengan kesenangan..
sebab Tuhan tak pernah menghargai kesenangan..
Tuhan memulyakan kesulitann; di dalam kesulitan ada dua jalan kemudahan..
jangan meenyerah dengan kesulitan
berbahagialah dengan kesulitan..karena itu membuat kita berarti dan ada..

PENGERTIAN ILMU (bahan kuliah IV)

oleh norman ohira.

Pengertian ilmu sebagai pengetahuan itu sesuai dengan asal-usul istilah Inggris Science yang berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire. Perkataan terakhir ini artinya mengetahui (to know). Tetapi pengetahuan sesungguhnya hanyalah hasil atau produk dari sesuatu kegiatan yang dilakukan manusia. Perkataan Latin scire juga berarti belajar (to learn). Makna science dalam pengertian terakhir ini adalah suatu proses atau kegiatan yang simultan. Dengan demikian, ilmu pada dasarnya adalah sebuah proses yang melahirkan pengetahuan. Oleh karenanya menurut Charles Singer science is the procces which makes knowledge


OBJEK MATERIAL DAN FORMAL FILSAFAT ILMU DAN RUaNG LINGKUPNYA.

Yang dimaksud dengan objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand ). Maksudnya adalah semua yang dijadikan bahan, hal-hal yang menjadi kajian atau apa saja yang menjadi pembahasan. Sedangkan yang dikatakan objek formal adalah cara meninjau, memandang yang dilakukan peneliti terhadap objek materialnya beserta prinsip-prinsip yang digunakannya.Maksudnya adalah metode, konsep atau pemikiran yang digunakan dalam membahas objek material.

Objek material dari filsafat ilmu adalah keseluruhan hal yang berkenaan dengan ilmu baik ilmu sebagai proses, produk, maupun sebagai prosedur. Dalam kerangka ini sesuai dengan pembagian ranah filsafat yang membahas ontologi, epistemologi dan axiologi. Objek formal dari filsafat ilmu adalah cara berfikir filsafat yang digunakan dalam memahami segala hal yang berkenaan dengan ilmu.

sebagai contoh, ketika ilmu dianggap sebagai sebuah proses yang simultan, maka hal yang dibahas adalah apa, bagaimana dan tujuan dari ilmu sebagai proses. Ini disebut objek material dari filsafat ilmu. Sedangkan cara memahaminya adalah dengan menguraikan atau dengan metodologi berfikir filsafat yakni rasional, universal, sistematis dan radikal. hal terakhir ini dinamakan objek formal filsafat ilmu.

Objek material dan formal filsafat ilmu sangatlah banyak dan luas..silahkan dikembangan sebagaimana contoh di atas.


ILMU DALAM ISLAM (Tinjauan Filsafat Ilmu dalam Studi Islam dan Sains)


Oleh : Norman Ohira

  1. Pengertian
Pada aula Princeton (Amerika Serikat) tertulis sebuah ucapan yang menarik. Tulisan tersebut berbunyi : “God is subtle, but he is not malicious”. Menarik, itulah yang terkangkap dari ucapan seorang jenius abad 20 yaitu Albert Einstein. Ucapan itu kurang lebih berarti “Tuhan itu bijaksana, tetapi ia bukan pendendam”. Ucapan itu dikutip dari Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, biasa dipanggil Bang ‘Imad-- (Jalaluddin Rahmat, 1998). Selanjutnya menurut Bang ‘Imad, ucapan tersebut sangat Islami. Karena Einstein menurutnya sampai pada kesimpulan Tuhan tidak mungkin bermain dadu.
Lalu, apa kaitannya dengan tema di atas? Kaitannya adalah, bagaimana mendudukan Filsafat ilmu dalam hubungannya dengan agama (Islam). Sebagai penekanannya terutama pada Studi Islam dan Sains, apakah bertentangan atau bergandengan? Bagaimana Islam memandang Sains?
Sebagai starting point, maka ucapan seorang Einstein di atas perlu menjadi asumsi dasar bahwa tak ada perbedaan antara keduanya.

  1. Filsafat Ilmu
Filsafat dari kata pilos (penggemar) dari sofos (hikmah atau ilmu), telah dikenal sejak zaman Yunani kira-kira 2000 tahun yang lalu. (Hamka, 1970:) Orang yang pertama kali menggunakan kata ini adalah Pythagoras (572-497 SM). Pengertian kata ini mengacu kepada orang yang cinta kepada kebenaran, kebijaksanaan, “the love of wisdom”. (Asnawir, Diktat kuliah, 2002). Secara terminologis, telah banyak para ahli yang memberikan defenisinya, namun pada intinya filsafat adalah suatu kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijaksaan atau kearifan. Dengan tercapainya tujuan tersebut, maka seseorang akan mempunyai pengerian yang mendalam dan mengerti akan nilai-nilai, serta senantiasa mendasarkan pendapatnya tidak di atas pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, dan memperhatikan arti yang mendalam dari semuanya. (Ibid,:2).
Filsafat mempunyai dua objek kajian yaitu objek material dan objek forma. Objek material yaitu sesuatu yang menjadi sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki, sesuatu yang dipelajari. Sedangkan objek forma adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan peneliti terhadap objek material, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. ( Asnawir, 2002:17)

 Sedangkan ilmu secara bahasa berarti mengetahui dari kata Arab ‘Ilm. Secara terminologis, banyak pendapat tentang pengertiannya. Namun dapat diambil intisari bahwa Ilmu adalah suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masingnya mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, disusun berdasarkan azas-azas tertentu, hinggga menjadi kesatuan yaitu suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil dari pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu (deduksi dan induksi). (Asnawir, 2002:4)
Salah satu cirri dari ilmu adalah berkembang. Di sini muncul pertanyaan bagaimana dengan Ilmu ke islaman? Atau studi Islam? Apakah berkembang dan dapat masuk ke dalam kelompok studi ilmu lainnya?. Menarik pertanyaannya tersebut, (lebih jelas pada uraian hubungan filsafat ilmu dengan Studi Islam).

  1. Filsafat Ilmu dan Studi Islam
Berdasarkan kecenderungan akhir-akhir ini, yaitu upaya islamisasi sains, maka tak pelu lagi studi ke-Islaman haruslah diperjelas. Sehingga tidak terjadi penyimpangan. Hal itu misalnya anggapan bahwa Islam sebagai ajaran adalah benar, sedangkan filsafat adalah mencari kebenaran. Lalu mengapa Islam harus memerlukan studi dengan perangkat Ilmu?. Jawabannya kembali kepada defenisi filsafat Ilmu bahwa Ilmu haruslah berangkat dari nilai terdalam dan objektif. Masalahnya adalah pemisahan dari Studi Islam dengan Islam sebagai doktrin belum dipahami jelas. Filsafat Ilmu menurut hemat penulis berkisar pada wilayah Studi Islam diluar keyakinan doctrinal. Memang sangat sulit memisahkannya karena di sana terdapat sekat yang tipis sekali. Ending Saifuddin Anshari (ESA, 1992) dengan tegas memisahkan antara Ilmu agama dengan Studi agama. Yang menurutnya sangat berbeda di mana ilmu agama adalah kebenaran mutlak yang didapat dari riwayat mutawatir. Sedangkan Studi agama adalah berada dalam wilayah pemahaman terhadap doktrin agama yang memerlukan perangkat metode sebagaiman layaknya pengerjaan ilmiah dalam sains. Di sinilah terletak sifat mendua dari konsep penelitian agama.
Tetapi, mau tak mau harus dibedakan karena implikasinya jauh ke depan mengenai nasib studi keislaman pada Sekolah Tinggi misalnya. Apakah nanti akan menghentikan penyelidikan hadis? Bukankah apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari telah merintis penelitian Ilmiah?. Maka dalam hal ini, menurut penulis ada benarnya pendapat Taufik Abdullah (Taufik Abdullah, (ed.)1991: xiii) bahwa harus dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter penelitian yaitu; pertama, agama sebagai doktrin. Memang pada kategori ini akan berpuncak pada usaha pencarian kebenaran agama. Tetapi dalam kerangka Filsafat ilmu, maka seorang peneliti atau mujtahid akan berakhir dengan ucapan inilah ajaran sesungguhnya. Dan pada saat itulah sebenarnya sikap objektifitas telah muncul dari tradisi akademis bahwa sepanjang penelitian saya inilah maksud inilah yang benar. Dalam kaitan ini dimungkinkan untuk mengajukan pertanyaan tentang esensi agama. Dengan pendekatan ini menurut Taufik Abdullah memungkinkan para ahli membuat “rekonstruksi” dari hubungan timbal balik agama dengan manusia. Maka pada akhirnya ilmu perbandingan agama misalnya mendapat tempat dalam studi ini.
Kategori kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Di sinilah batasan yang jelas dari studi islam memperoleh tempat dalam kerangka penelitian tatanan masyarakat yang dibentuk dari kepemelukan agama. Maka tidak terlalu sukar untuk membayangkan bahwa corak ini nantinya bercorak penelitian social-sosiologi, sntropologi, sejarah dan sebagainya.
Kategori ketiga, adalah mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Kategori ini adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama. Harus diingat bahwa ada dua bentuk besar pemahaman ajaran agama dari masyuarakat yaitu; masyarakat pertanian (pedesaan) dan masyarakat perkotaan. Menurut Kuntowijoyo (1994), karakteristik dasar dari Islam pedesaan adalah mobilitasnya menurun, dipengaruhi budaya agraris yang statis dan percaya mistik. Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat perkotaan yang cosmopolitan. Sehingga walaupun tidak sepenuhnya demikian, dalam kenyataan islam yang ada di pedesaan adalah islam normative dan sempit sertga dijalankan secara rigid (kaku)[4]
Melihat kepada kategori yang diberikan Taufik Abdullah di atas, maka studi islam lebih luas dan dapat memesauki lapangan metodologi yang lebih luas pula. Bahkan dengan menggunakan paradigma positivistic sekalipun, studi islam dapat dilakukan. Apakah menggunakan penelitian kualitatif ataupun kuantitatif. Hal ini sebagaimana pendapat noeng muhajir (Taufik Abdullah (ed.) 1991) dalam penelitian agama nantinya akan lebih ajeg dan konsekuen bila didasari oleh falsafat dan metodologi tertentu. Ini berarti dapat masuk ke wilayah metodologi apapun. Penelitian kuantitatif misalnya berguna dalam mengukur tingkat antusiasme umat terhadap pendidikan atau dakwah.
Dalam kajian filsafat ilmu dikenal adanya objek formal dan objek material, sebagai bagian dari filsafat ilmu, studi islam mengacu kepada kedua objek tersebut. Objek formal yaitu cara memandang dari sesuatu yang diteliti adalah bagian dari pertumbuhan ilmu-ilmu ke-islaman semisal fiqh, ulumul quran dan hadis dan sebagainya. Sedangkan yang menjadi objek material adalah doktrin islam itu sendiri. Disinilah terletak keabsahan studi islam dalam kerangka filsafat ilmu. Dan yang menjadi patokan dasar adalah objek formal dimana mengacu kepada paradigma, pendekatan dan metodologi yang digunakan. Maka studi islam pada akhirnya menuntut adanya pengembangan dari halk tersebut. Sebagai missal, dalam studi al-Quran, Quraish Shihab menyatakan bahwa al-Quran adalah seumpama  mutiara yang memancarkan cahayanya di setiap sudut pandangan. (Quraish Shihab, 1998). Jadi sangat jelas batasan studi Islam bila dikaitkan dengan filsafat ilmu. Ditambah lagi dalam kerangka trium virat filsafat yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi maka studi islam berada dalam kawasan itu.
Berkaitan dengan cirri ilmu adalah berkembang, maka apakah studi islam juga berkembang? Pertanyaan ini pernah dikemukakan LIPI (lemmbaga Ilmu Penegtahuan Indonesia). Sebagai jawabannya, menurut Harun Nasution (Harun, 1998) perkembangan ilmu ke-Islaman terjadi dalam wilayah perkembangan modern dan pembaharuan Islam.Di dalamnya terjadi perkembangan ide, konsep, metode dan falsafat berfikir terhadap objek material studi islam.
  1. Islam dan sains
Berangkat dari pertanyaan Einstein di atas, sebenarnya “the end point” dari sains itu adalah Islam. Alam ini diatur oleh seorang Master designer. Maka asumsi yang didapati dari pertanyaan islamisasi sains adalah niat yang berdasarkan kepada nilai-nilai (value) yang menjadi dasar pengerjaan sains. Karena islam menurut bang Imad menentukan pengkajian mana yang perlu diprioritaskan dan atas dasar apa prioritas itu ditentukan. Sehingga ilmu adalah apa yang melekat pada dirinya. Ilmu adalah robot yang bergerak tanpa dosa. Dan dalam kaitan ini isalm berada pada tataran aksiologis dari pertanyaan Quo Vadis Ilmu? Jadi persoalan islamisasi sains sebenarnya terletak pada penetapan nilai dan prioritas.
Dengan demikian takkan ada lagi paradigma ilmu-ilmu secular (Barat) dan ilmu islami. Yang ada adalah bahwa ilmuwan secular dan ilmuwan islami. Karena studi islam sekalipun sebenarnya bias menjadi sekuler ketika pengkajian yang dilakukan tanpa nilai misalnya penetapan hukum islam yang berangkat dari paradigma positivistic dan materialis. Maka yang ada hanyalah hhukum secular jauh dari nilai agama.
Professor Ahmad Baiquni, seorang fisikawan pertama Indonesia, mengemukakan bahwa antara islam dan sains amatlah berkaitan erat bila dikaitkan dengan begitu banyak prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Quran. Hal itu ditegaskan pula oleh Quraish Shihab bahwa ayat pertama surat al-‘Alaq yaitu Iqra merupakan isyarat dan pandangan al-Quran terhadap ilmu dan teknologi.[5] Jadi sebenarnya tak ada masalah antara islam dan sains. Karena bukankah Nabi pernah bersabda:”siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu, siapa yang menginginkan akhirat haruslah dengan ilmu, dan bagi yang menginginkan keduanya maka haruslah dengan ilmu”. Kemudian jika dibawa kepada setting sejarah, bahwa islam pernah menjadi kampiun ilmu pengetahuan. Mengapa itu bias terjadi, karena umat islam ketika itu dapat menyelaraskan antara sains dan ajaran islam. Terutama kemampuan mereka memadukan antara pertemuan dua kutub filsafat barat (hellenisme yunani) dengan filsafat timur (sasanid Persia). Hanya saja karena ulah umat islam sendiri yang kemudian berbalik menghancurkan Islam.

V. Penutup
            Dalam bagian terkahir ini, penulis menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dalam hhubungannya dengan studi islam dan sains islam adalah sebuah garis linear yang sinkron. Dan perbedaan antaranya adalah pada sekat yang tipis dalam sebuah pertanyaan quo vadis ilmu? Karena filsafat sebenarnya adalah proses tersebut. Dan mengacu kepada filsafat ilmu ia akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Akhirnya mengacu kepada Quraish Shihab dalam persoalan penafsiran al-Quran, al-Quran ibarat sebuah mutiara yang memancar di setiap sudut. Dan dari sudut mana dipandang ia tetaplah benar namun di situ pula letak ketidakbenaran pandangan itu.